"Orang Bilang Anakku Seorang Aktivis"
#Kata_Mereka namanya tersohor di kampusnya sana.
Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat.
Orang bilang anakku seorang aktivis.
Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak?
Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
*
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis.
Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.
Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak?
Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak. Tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia…
*
Anakku, kita memang berada di satu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini di manakah rumahmu nak?
Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu.
Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.
Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu.
*
Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu.
Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.
Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.
*
Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak.
Tapi bukankah aku ini ibumu, yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak.
Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu.
Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu.
Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak?
Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu?
Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak?
Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.
Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu.
Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan.
Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?
Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak? Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu.
Buku agenda sang aktivis.
Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat di sana sini.
Ada jadwal mengkaji, ada juga jadwal untuk bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya.
Di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.
Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana.
Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu, sejak kau ada di rahim ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu, selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku…
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.
Boleh ibu bertanya nak, di mana profesionalitasmu untuk ibu?
Di mana profesionalitasmu untuk keluarga?
Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat.
Ah, waktumu terlalu mahal nak.
Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu.
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Semoga dapat menjadi introspeksi diri bagi kita.
#
Catatan untuk "kamu" yang katanya seorang aktivis. (Y)
#Kata_Mereka namanya tersohor di kampusnya sana.
Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat.
Orang bilang anakku seorang aktivis.
Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak?
Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
*
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis.
Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.
Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak?
Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak. Tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia…
*
Anakku, kita memang berada di satu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini di manakah rumahmu nak?
Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu.
Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.
Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu.
*
Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu.
Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.
Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.
*
Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak.
Tapi bukankah aku ini ibumu, yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak.
Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu.
Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu.
Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak?
Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu?
Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak?
Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.
Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu.
Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan.
Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?
Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak? Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu.
Buku agenda sang aktivis.
Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat di sana sini.
Ada jadwal mengkaji, ada juga jadwal untuk bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya.
Di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.
Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana.
Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu, sejak kau ada di rahim ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu, selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku…
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.
Boleh ibu bertanya nak, di mana profesionalitasmu untuk ibu?
Di mana profesionalitasmu untuk keluarga?
Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat.
Ah, waktumu terlalu mahal nak.
Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu.
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Semoga dapat menjadi introspeksi diri bagi kita.
#
Catatan untuk "kamu" yang katanya seorang aktivis. (Y)
Komentar
Posting Komentar